Cerita Pejuang Bipolar – Kali ini ada cerita dari salah satu teman kita yang berjuang dengan menghadapi bipolar disorder sejak tahun 2017. Bagaimana kisah jatuh-bangun dan pelajaran berharga apa yang bisa kita ambil, semua terangkum dalam tulisannya yang menarik. Penasaran seperti apa? Yuk, kita baca ceritanya sampai habis!
Hai, Riliv! Apa kabar?
Sebelumnya aku mau ngucapin banyak terima kasih karena melalui aplikasi Riliv-lah pertama kalinya aku memberanikan diri untuk bercerita ke psikolog.
Jadi, ceritaku dimulai pada tahun 2017. Aku merasa ada yang berbeda dari diriku. Yang awalnya ceria dan suka bergaul, tiba-tiba aku menjadi seorang yang sangat pemurung dan menarik diri dari kehidupan sosial. Bahkan bukan hanya itu, aku lebih mudah merasa tersinggung, marah, sedih, dan sering menangis tanpa sebab. Aku juga gampang sekali overthinking, malas untuk beraktivitas sehari-hari, bahkan beranjak dari tempat tidur pun rasanya malas banget.
Tidak hanya itu, pada saat-saat tertentu, aku mulai melakukan self harm. Apalagi, kalau perasaanku sedang down. Aku kira, ini cuma mood swing biasa, sampai pada akhirnya aku merasa bahwa keadaanku ini terus mengganggu kegiatanku sehari-hari. Mencurigakan, tapi aku tidak tahu pasti apa yang sedang kualami. Ketika aku belajar maupun bekerja, rasanya pikiranku menjadi tidak fokus. Aku tidak punya gairah atau semangat, dan suka muncul perasaan tidak berharga setiap periode tertentu.
Sampai pada akhirnya di tahun 2020, aku memberanikan diri untuk konseling pertama kali di aplikasi Riliv. Setelah bertahun-tahun berperang dengan isi pikiranku sendiri dan mood yangsulit untuk dikontrol, aku pun memberanikan diri menceritakan semua permasalahan trauma yang aku alami secara detail kepada psikolog.
Sebelumnya, aku ingin bercerita sedikit, deh, soal pengalamanku semasa sekolah dulu. Aku pernah jadi korban bullying di SD dan SMA. Belum lagi, pada saat aku memasuki dunia kerja, aku benar-benar merasa down karena tekanan dari atasan dan partner kerja yang saling menjatuhkan. Pengalamanku dikelilingi orang-orang di lingkungan toxic ini sungguh memuakkan. Namun, aku tidak bisa ke mana-mana. Aku terjebak oleh keadaan dan tak bisa lari begitu saja dari kenyataan.
Setelah menjalani konseling selama beberapa waktu, hasilnya cukup membuatku terkejut. Aku didiagnosa mengalami gejala gangguan kesehatan mental. Psikolog bilang, saat itu aku mengalami gejala bipolar disorder. Saking mengejutkannya diagnosis itu bagiku, aku pun menolak untuk mempercayainya.
Meskipun demikian, aku tetap berpikir positif. Aku yakin bahwa aku akan baik-baik saja, bahkan sampai saat ini pun aku masih punya pandangan positif terhadap diriku. Namun lambat laun, keadaanku tak bisa membohongi diri. Mood swing yang kualami semakin sulit rasanya untuk dikontrol. Aku pun memutuskan untuk berkonsultasi lebih lanjut dengan psikiater menggunakan fasilitas BPJS. Ternyata, psikiater itu berpendapat hal yang sama. Aku memang mengidap bipolar disorder.
Reaksiku pun menjadi sangat negatif terhadap diriku sendiri. Perasaanku benar-benar campur aduk, kehilangan arah. Aku malu karena takut dianggap gila oleh orang-orang. Sampai akhirnya, aku di beri obat oleh psikiater. Aku juga harus selalu kontrol setiap bulan.
Jujur, awal masa-masa treatment-ku dengan psikiater tidaklah mudah. Overthinking yang kualami belum juga berkurang, karena aku merasa kehidupanku sudah selesai gara-gara bipolar yang aku alami. Aku takut bahwa aku takkan menjadi pribadi yang normal lagi. Sampai-sampai, ketakutanku ini membuatku self harming beberapa kali.
Namun, dengan seiring berjalannya waktu, aku menjadi lebih terbiasa menjalani kontrol ke psikiater. Aku juga sudah mulai menerima keadaan dan berdamai dengan diri sendiri. Sekarang, aku sudah berani speak up ke semua media sosial tentang pentingnya kesehatan mental dan bercerita mengenai bipolar disorder yang kualami.
Demikianlah, sampai sekarang di tahun 2022, aku masih tetap berjuang setiap bulannya untuk pergi ke psikiater dan minum obat supaya mood-ku bisa lebih stabil. Di samping itu, aku masih berjuang mencintai diri sendiri. Saat ini, aku sudah tidak lagi berpikiran negatif tentang diriku.
Justru, aku merasa bangga karena sampai sekarang, aku masih mau berjuang. Support system yang kuandalkan saat ini hanyalah diriku sendiri.
Di akhir kata, aku mau menyampaikan terima kasih buat kalian yang membaca cerita ini. Kenapa? Karena di manapun kalian berada, dengan kesulitan apapun yang kalian miliki, kalian masih mau berjuang sampai detik ini. Hebat! Kalian semua hebat!
Aku tahu, perjalanan kalian tidaklah mudah. Tapi, please, jangan berhenti berjuang, ya! Kita pantas bahagia dan pasti akan bahagia, walaupun harus tertatih-tatih dan berdarah-darah dahulu seperti sekarang ini. Semangat!
Sumber cerita: Anonim, kontributor Riliv.
—
Kisah ini ditulis dan telah mendapatkan persetujuan berdasarkan pengalaman nyata dari para pejuang sehat mental terpilih, yang telah mengikuti rangkaian acara MindFest 2022, a mental health event by Riliv. Rangkaian acara ini membawa misi bahwa semua orang berhak untuk #SehatMental dan mendapatkan akses serta layanan kesehatan mental tanpa terkecuali.
Karena #UdahSaatnya, kesehatan mental jadi prioritasmu.