Lepas Hubungan Toxic – Sore dan hujan adalah kombinasi yang lengkap untuk menerima tamu berupa kenangan. Apalagi, dengan pemandangan puluhan pot tanaman mini yang berjajar di dinding teras, dan radio di dalam rumah yang menyandungkan lagu-lagu indie. Kenangan itu hadir tanpa permisi.
“Jika jatuh cinta itu buta, berdua kita akan tersesat. Saling meraba di dalam gelap.”
Aku sama saja sepertimu, manusia biasa yang sering melakukan kesalahan. Salah satunya adalah membiarkan diriku terjebak dan sulit lepas dalam hubungan yang toxic . Membiarkan seseorang melanggar teritori dan hal-hal yang semestinya kumiliki sendiri.
Mengingatnya saat ini bukannya aku kangen, aku hanya sedang mengagumi diri sendiri. Karena ternyata aku bisa sejauh ini tanpanya yang dulu begitu kucintai!
Harus kuakui, dia adalah sosok yang nyaris sempurna
Apakah kamu berpikir bahwa pasangan yang toxic itu menyebalkan dan jahat? Itu kurang tepat. Sebab, dia yang bersamaku dulu, pernah kuanggap sebagai sosok yang hampir sempurna.
Kombinasi antara penampilan yang rupawan, tutur kata lembut, sikap romantis, dan aksi protektifnya membuatku merasa spesial.
Bersamanya, aku merasa seperti satu-satunya perempuan di muka bumi ini. Ah, ya, kami juga punya rencana masa depan yang pasti.
Tunggu sampai tabungan cukup, lalu kami akan melenggang ke pelaminan. Aku tak pernah meragukan kesungguhannya sama sekali. Sebab, aku tahu dia memang tak pernah ingkar janji.
Cemburunya sering berlebihan dan tanpa alasan, tapi aku menganggapnya sebagai bentuk rasa sayang
Dicemburui itu menyenangkan, bukan? Melihat pasanganmu uring-uringan hanya karena merasa terancam dengan kehadiran orang lain itu lucu, ‘kan? Ya, dulu aku juga berpikir begitu.
Sikap cemburunya memang sering berlebihan. Bahkan, seringkali dia melarangku kumpul-kumpul dengan teman dengan berbagai alasan.
Waktu itu aku tersanjung, karena kurasa sedemikian besar keinginannya untuk bersamaku. Dibanding membiarkanku pulang nebeng teman atau naik kendaraan umum, dia memilih untuk mengantar-jemputku setiap hari. Sikap yang manis ini dulu membuatku melambung tinggi.
Tangan dan kata-katanya memang sering kasar. Namun, bila dia sudah menyesal, bukankah aku harusnya memaafkan?
Memang ada satu masalah yang sering terjadi di hari-hari bahagia kami itu. Emosinya seringkali tak terkontrol, terutama saat dia merasa marah, cemburu, ataupun insecure. Tak hanya kata-kata kasarnya yang menusuk hati, terkadang perdebatan kami sering kali diakhiri dengan tamparan di pipiku.
Hanya saja, dua detik setelah melakukan itu, dia tersadar dan segera menyesali perbuatannya. Dengan tangis sesal, dia memohon maafku, dan terbata-bata menjelaskan mengapa dia melakukan itu.
Hal-hal seperti ini membuat hatiku tersentuh, dan berpikir bahwa “Ah, aku juga yang salah. Nggak heran kalau dia begini.”
Semua yang manis-manis itu membutakan mataku cukup lama, hingga akhirnya aku mengerti bahwa ini tidak baik-baik saja
Meski dia sering kasar, bukankah dia sudah menyesal dan minta maaf? Meski dia sering cemburu tanpa dasar, bukankah dia sebenarnya takut kehilangan? Meski dia sering melarangku jalan dengan teman-teman, bukankah itu karena dia ingin menghabiskan waktu lebih lama bersamaku? Hal-hal semacam itu membuatku merasa baik-baik saja.
Namun, dengan lebam-lebam yang semakin sering hadir di tubuhku, dengan tangis diam-diam yang sering kulakukan, dan rasa lelah yang semakin lama semakin menumpuk, aku mulai berpikir.
Apa iya aku–atau kami–baik-baik saja? Semakin lama kupikir semakin aku paham, bahwa aku memang tidak baik-baik saja.
Sikap posesifnya perlahan-lahan menarikku dari dunia. Mulai kusadari bahwa aku kesepian meski punya pasangan
Semakin lama, duniaku terasa semakin menyusut. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku jalan dengan teman-teman. Saat kusadari, tak ada lagi ajakan yang datang karena mereka bosan dengan penolakan.
Waktu dengan diriku sendiri pun semakin berkurang, karena dia selalu ingin ada dimanapun aku berada. Bahkan, waktu untuk keluarga pun semakin terbatas. Lama kelamaan, aku merasa seperti tawanan yang kesepian meski kami sedang berdampingan.
Dia memang menyesal dan mengucapkan maaf. Tapi bila kesalahan yang sama terus terulang, bukankah ada yang salah?
Kuputar ulang semua hal yang sudah kami lalui. Setiap kali pertengkaran kami berujung dengan hal-hal kasar, baik secara fisik maupun verbal, memang dia menyesal dan minta maaf. Namun, bukankah permintaan maaf seharusnya dibarengi dengan bukti tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama?
Yang terjadi adalah dia bersikap kasar – minta maaf – bersikap kasar lagi – minta maaf lagi begitu seterusnya. Apa salah jika lama-lama aku lelah?
Meski begitu, melepaskannya tak mudah. Bukan hanya karena dia enggan menyerah, ada juga rasa takut dalam diriku
Menyadari bahwa kami tidak baik-baik saja, ternyata tidak cukup membuatku berani mengambil langkah. Melepaskan seseorang tidak pernah mudah. Bagaimanapun, aku mencintainya dan kami punya mimpi dan masa depan bersama.
Melepaskannya, berarti aku harus memulai lagi segalanya dari nol. Lagipula, bagaimana bisa aku menjalani hari sendiri bila aku sudah terlalu terbiasa bersamanya?
Aku pernah berpikir bahwa hidup tanpanya itu mustahil. Tapi, setelah semua ini, ternyata aku baik-baik saja dan justru lebih baik karenanya.
Ketika akhirnya mengambil keputusan untuk pergi, ada beberapa momen aku menyesal dan ingin kembali. Terutama saat aku merasa kesepian karena kusadari hubungan kami menjadikannya sebagai satu-satunya yang kumiliki.
Tapi, aku mengerti bahwa semuanya perlu proses. Meski ini tak mudah, aku yakin aku hanya perlu berbenah dan mulai menyusun kembali kehidupan yang hilang itu.
Kini, semua sudah berlalu. Sudah bertahun-tahun sejak hari itu, dan aku bisa mengenang masa lalu dengan senyum di wajah. Aku tak menyesali hubungan kami. Sebab meski buruk, hubungan itu mengajariku banyak hal, terutama bagaimana mencintai diriku sendiri.
Kamu Tak Perlu Sendiri untuk Memulai Langkah Lepas dari Hubungan Toxic
Memutuskan untuk mengakhiri hubungan beracun memang berat. Apalagi jika kamu merasakan seperti apa yang kurasakan di atas.
Namun bukan berarti tak ada alasan untuk terus bertahan. Kamu bisa berkonsultasi dengan psikolog online untuk menemukan perspektif baru dari kekuatan yang kamu miliki bahkan tanpa kehadirannya sekali pun.
Konseling dengan psikolog bisa membantu kamu berdiskusi dan membangun kekuatan agar kamu bisa lepas dari belenggu hubungan toxic.
Mari berjuang bersama, kamu tak sendirian.
—
Artikel ini ditulis oleh Hipwee.