Perceraian adalah keputusan dan proses yang sulit. Tetapi setelah perceraian, ada hal yang lebih sulit lagi, yaitu mendidik anak. Mendidik anak broken home dengan orang tua yang sudah terpisah memang tidak semudah mendidik anak jika orang tua masih bersama. Ada satu cara untuk melakukannya: co-parenting.
Berikut ini adalah beberapa cara mendidik anak broken home yang patut diperhatikan dan dipraktikkan.
Mendidik anak broken home dengan co-parenting
Kunci dari co-parenting yang sukses adalah memisahkan antara hubungan personal dengan mantan dan hubungan co-parenting. Akan sangat membantu apabila kamu menganggap hubungan co-parenting ini sebagai hubungan yang baru, berbeda dengan hubungan romantikmu yang sudah berakhir dengan mantan pasangan.
Pernikahanmu mungkin sudah berakhir, tapi keluargamu belum. Prioritas nomor satu adalah bertindak berdasarkan kepentingan anak. Langkah pertama untuk menjadi co-parent yang bertanggung jawab adalah dengan menomor satukan anak.
Dengan co-parenting, anak akan menyadari bahwa mereka lebih penting daripada konflik pernikahan antara kamu dan mantan pasanganmu.
Mendidik anak broken home dengan co-parenting yang baik juga akan membuat anak sadar bahwa cinta dan kasih sayang orang tua mereka selalu ada, tak peduli bagaimanapun keadaannya.
Anak bisa merasa lebih aman, punya kemampuan problem solving yang lebih baik, memiliki teladan yang baik, serta lebih sehat baik secara mental dan emosional.
Kesampingkan rasa marah dan sakit hati
Kesuksesan mendidik anak broken home berarti kesuksesan mengendalikan rasa marah, kebencian, dan sakit hati pada mantan pasangan. Mengesampingkan perasaan-perasaan demikian mungkin sulit, tapi itu tidak mustahil.
Co-parenting bukan tentang perasaanmu dan perasaan mantan pasanganmu, melainkan tentang well-being, kebahagiaan, dan stabilitas anak.
Dear, tapi sebagai manusia, wajar jika kamu masih merasa marah atau sakit hati pada mantan pasanganmu. Perasaan seperti itu manusiawi. Tetapi, letakkan perasaan-perasaan itu pada tempatnya.
Kamu dapat menceritakan perasaan dan masalah pada psikolog. Jika kamu merasa lelah akan semua ini, ingatlah tujuan awalmu.
Ingatlah bahwa yang paling penting itu adalah anakmu. Jika perasaan-perasaan negatif ini terasa semakin intens dan berlebihan, mungkin kamu dapat cool down dengan memandang foto anakmu.
Selain itu, jangan pernah menggunakan anak sebagai ‘tukang antar pesan’ atau ‘jembatan’ antara kamu dan mantan pasangan. Jika diperlakukan demikian, anak akan merasa bahwa dia adalah pusat konflik antara kedua orangtuanya.
Tujuannya adalah agar anak terhindar dari masalah hubunganmu dengan mantan pasanganmu. Jadi, jika ada yang ingin disampaikan, sampaikanlah pada mantan pasanganmu, entah itu melalui pesan singkat, telepon, atau secara langsung.
Simpanlah masalah-masalah pada tempatnya. Jangan mengucapkan kata-kata negatif tentang mantan pasanganmu pada anak, karena anak akan merasa dia harus memilih pihak antara kamu atau mantan pasanganmu.
Padahal, anak berhak atas hubungan dengan mantan pasanganmu tanpa pengaruh pendapatmu.
Konsistensi dalam co-parenting
Sebaiknya, anak diekspos pada perspektif yang berbeda, sehingga ia dapat belajar agar lebih fleksibel. Tapi, anak juga perlu tahu bahwa ia hidup di bawah aturan dan ekspektasi yang sama dari kedua orang tuanya.
Untuk dapat mencapai hal ini, diperlukan konsistensi dalam melakukan praktik co-parenting dalam rangka mendidik anak broken home. Konsistensi kerja sama antara kamu dan mantan pasanganmu dapat sangat membantu anak agar ia tidak merasa bingung.
Konsistensi ini terdari dari beberapa hal yang perlu dijaga, yaitu: (1) aturan, (2) disiplin, (3) jadwal. Ketiga hal ini harus dipegang dan dipraktikkan dalam co-parenting, Dear.
Peraturan, tidak harus sama persis di rumahmu dan rumah mantan pasanganmu, tapi aturan-aturan dasar sebaiknya disamakan, sehingga ketika anak berada di rumahmu atau di mantanmu, dia tidak perlu menuruti 2 aturan berbeda yang sama sekali berbeda. Itu akan membuatnya bingung.
Hal-hal dasar seperti masalah PR, aturan main keluar rumah, dan sebagainya disamakan. Cobalah untuk duduk bersama mantan pasangan sejenak, dan mem-fix-kan aturan-aturan dasar ini yang berlaku di kedua rumah untuk anak.
Disiplin. Cobalah untuk mengikuti sistem reward and punishment yang sama. Apabila anak melanggar sebuah aturan, maka hukuman itu berlaku di kedua rumah, baik rumahmu maupun rumah mantan pasanganmu.
Misalnya, jika anak melakukan pelanggaran di rumah mantan pasanganmu, kemudian dia dihukum tidak boleh nonton TV, hukuman tidak boleh nonton TV itu juga berlaku di rumahmu. Ini untuk menghindari anak pergi ke rumah lain untuk ‘melarikan diri’ dari hukuman.
Kabur dari hukuman tentu tidak baik bukan, Dear? Dengan menerapkan disiplin yang sama di kedua rumah, kamu dan mantan pasanganmu mengajarkan tentang konsekuensi dan pertanggungjawaban.
Jadwal, juga perlu disamakan di kedua rumah. Anak mengikuti jadwal makan, belajar, bermain, dan tidur yang sama baik di rumah ibunya maupun ayahnya. Dengan begitu, ia memiliki pola hidup yang tetap, tidak perlu menyesuaikan tiap pindah dari rumah ibunya ke rumah ayahnya atau sebaliknya.
Semoga tips co-parenting ini berguna ya, Dear!
Disadur dari:
- https://www.helpguide.org/article/parenting-family/co-parenting-tips-for-divorced-parents.htm
Ditulis oleh Fida Aifiya Chusna.