Financial psychology – Gimana kabar gaji kamu? Masih aman? Atau justru sudah habis dipakai membeli barang kebutuhan?
Omong-omong soal gaji dan keuangan, pernahkah kamu berpikir, bahwa sebetulnya, ada hubungannya antara kondisi keuangan dengan keadaan psikologis? Kali ini kita akan membahas bersama-sama mengenai topik ini lebih dalam. Yuk, scrolling ke bawah lagi!
Apa Itu Financial Psychology?
Sebelum kita memasuki topik bahasan, pernahkah kalian membaca buku Psychology of Money karya Morgan Housel? Yep, dalam buku tersebut dijelaskan bahwa kita bisa mengelola keuangan kita dengan memahami aspek emosional yang menimbulkan keinginan kita untuk membelanjakan uang tersebut. Nah, financial psychology adalah salah satu cabang keilmuan psikologi yang membahas mengenai komponen-komponen psikologi yang mempengaruhi perilaku kita dalam mengatur kondisi finansial, yang salah satunya emosi.
Mungkin kita bisa mengambil contoh yang lebih praktis untuk memahami financial psychology. Misalnya, nih, kamu lagi patah hati. Kamu pun jalan-jalan ke mall. Yang awalnya hanya berniat window shopping, kamu malah membeli barang-barang yang nggak penting. Contoh ini menggambarkan bahwa keadaan emosional kita bisa melatarbelakangi pengambilan keputusan kita terhadap suatu hal.
Ingat, Kebutuhan dan Keinginan Itu Beda!
OK, mungkin saat ini kamu semakin bingung. Dari mana kita bisa tahu perbedaannya belanja untuk memenuhi kebutuhan dengan belanja sebagai pemuas diri? Simak lagi uraian berikut, yuk!
FYI, setiap manusia punya dorongan untuk memenuhi kebutuhannya. Seperti yang disebutkan Adam Smith menyebutkan dalam The Theory of Moral Sentiments, bahwa setiap moral dan tindakan kita dihasilkan sebagai bagian peran kita sebagai makhluk sosial. Jadi, nggak salah bila kita selalu mengejar keinginan untuk memiliki atau mencapai sesuatu. Nah, salah satunya adalah keinginan manusia mencari uang untuk memenuhi kebutuhan dan membeli apa yang dia inginkan untuk kenikmatan semata.
Konsep Kebahagiaan dalam Financial Psychology
Sekarang, sudah paham, kan, penting bagi kita untuk bersikap mindful dengan keuangan kita? Dengan kata lain, kita harus memperhatikan seberapa kita menghabiskan uang untuk hal-hal tertentu.
Memang, sih, keinginan belanja barang kebutuhan itu sulit banget dikendalikan, apalagi kalau kita sudah termakan oleh promo yang digalakkan retail shop dan e-commerce. Hal ini dijelaskan oleh Daniel Kahneman, bahwa setiap manusia punya kecenderungan mencari dua macam kebahagiaan: momentary pleasure (kebahagiaan sementara) dan life satisfaction (kepuasan hidup). Apabila kita menghabiskan uang hanya untuk mendapatkan efek prestige atau hanya karena sensasinya, itu berarti kita sedang mencari kebahagiaan sementara. Tapi, yah, namanya juga ‘kebahagiaan sementara,’ kan? Bagaikan zat adiktif, kecenderungan kita untuk merasakan kebahagiaan sementara karena berbelanja akan membuat kita terjerumus dalam perilaku kompulsif. Sebaliknya, bila kita menggunakan uang untuk kebahagiaan hidup, kita akan melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat, misalnya berinvestasi di masa depan atau menabung.
Kaitan Kesehatan Mental dengan Masalah Finansial
Seperti yang sudah disebutkan di atas, masalah seputar financial psychology berhubungan erat dengan bagaimana kondisi finansial mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Orang yang sehat mental akan mampu memanajemen finansialnya dengan baik. Misalnya, apabila kita sedang berada dalam kondisi keuangan yang seret, kita akan cenderung berhemat. Sebaliknya, jika kondisi keuangan sedang bagus, kita bisa bebas membeli barang apapun yang kita inginkan.
Di sisi lain, orang yang sehat mental namun berada dalam keadaan finansial yang buruk juga akan rentan terhadap gangguan mental, seperti depresi dan kecemasan. Sebuah studi dari Hojman (2016) menjelaskan bahwa persepsi individu tentang kesehatan keuangan juga dapat mempengaruhi kesehatan mental, perilaku sosial individu, serta keputusannya dalam memanajemen keuangan. Misalnya, orang yang memiliki hutang banyak akan cenderung mengalami gejala depresi lebih tinggi daripada orang yang sehat mental.
Namun, keadaan mental seseorang juga bisa menjadi indikator kesehatan finansialnya. Seseorang yang mengalami compulsive buying disorder cenderung memuaskan ego mereka dengan berbelanja semaunya, sehingga keadaan finansialnya akan cenderung seret. Jadi, bisa dikatakan bahwa masalah keuangan bisa menyebabkan gangguan mental, maupun menjadi hasil dari gangguan mental.
Buat kamu yang masih punya masalah atau isu kesehatan mental diakibatkan masalah keuangan, jangan khawatir! Ada Riliv yang siap membantu kamu menghadapi setiap problematika kesehatan mentalmu! Yuk, konsultasi bareng psikolog Riliv biar masalahmu bisa teratasi!
Referensi:
Hinvest, N. S., Fairchild, R., & Ackert, L. (2021). Editorial: Emotions and Cognition in Financial Decision-Making. Frontiers in psychology, 12, 811243. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.811243
Hojman, D. A., Miranda, Á., & Ruiz-Tagle, J. (2016). Debt trajectories and mental health. Social science & medicine (1982), 167, 54–62. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2016.08.027
Müller, A., Georgiadou, E., Birlin, A., Laskowski, N. M., Jiménez-Murcia, S., Fernández-Aranda, F., Hillemacher, T., de Zwaan, M., Brand, M., & Steins-Loeber, S. (2022). The Relationship of Shopping-Related Decisions with Materialistic Values Endorsement, Compulsive Buying-Shopping Disorder Symptoms and Everyday Moral Decision Making. International journal of environmental research and public health, 19(7), 4376. https://doi.org/10.3390/ijerph19074376