Resiliensi adalah kemampuan individu untuk menghadapi dan bangkit dari situasi-situasi sulit. Singkatnya, resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi. Resiliensi merupakan kemampuan yang bisa ditingkatkan jika terus dilatih. Selain tips tentang cara meningkatkan resiliensi, sajak tentang resiliensi yang Riliv sajikan di bawah ini juga dapat menjadi alternatif sumber energi untuk kamu yang ingin meningkatkan kemampuan resiliensi.
Dari Maya Angelou hingga Sylvia Plath, berikut serangkaian sajak inspiratif dari beberapa penyair perempuan terbaik!
1. Mushrooms – Sylvia Plath
Overnight, very
Whitely, discreetly,
Very quietly
Our toes, our noses
Take hold on the loam,
Acquire the air.
Nobody sees us,
Stops us, betrays us;
The small grains make room.
Soft fists insist on
Heaving the needles,
The leafy bedding,
Even the paving.
Our hammers, our rams,
Earless and eyeless,
Perfectly voiceless,
Widen the crannies,
Shoulder through holes. We
Diet on water,
On crumbs of shadow,
Bland-mannered, asking
Little or nothing.
So many of us!
So many of us!
We are shelves, we are
Tables, we are meek,
We are edible,
Nudgers and shovers
In spite of ourselves.
Our kind multiplies:
We shall by morning
Inherit the earth.
Our foot’s in the door.
Sajak tentang resiliensi yang pertama ditulis oleh penyair dan penulis dari Amerika, Sylvia Plath, melalui banyak karyanya menuangkan kritik terhadap patriarki, dimana perempuan berada di posisi subordinat terhadap laki-laki.
Dalam puisinya ‘Mushrooms‘, Plath membandingkan jamur yang rapuh, tidak bersuara, lemah lembut, dan tidak mencolok, dengan penderitaan wanita pada saat itu.
Tetapi, sebagaimana jamur berhasil tumbuh dan berkembang terlepas dari segalanya, demikian pula wanita akan bangkit dan melarikan diri dari tunduk pada tradisi.
2. Still I Rise – Maya Angelou
You may write me down in history
With your bitter, twisted lies,
You may trod me in the very dirt
But still, like dust, I’ll rise.
Does my sassiness upset you?
Why are you beset with gloom?
’Cause I walk like I’ve got oil wells
Pumping in my living room.
Just like moons and like suns,
With the certainty of tides,
Just like hopes springing high,
Still I’ll rise.
Did you want to see me broken?
Bowed head and lowered eyes?
Shoulders falling down like teardrops,
Weakened by my soulful cries?
Does my haughtiness offend you?
Don’t you take it awful hard
’Cause I laugh like I’ve got gold mines
Diggin’ in my own backyard.
You may shoot me with your words,
You may cut me with your eyes,
You may kill me with your hatefulness,
But still, like air, I’ll rise.
Does my sexiness upset you?
Does it come as a surprise
That I dance like I’ve got diamonds
At the meeting of my thighs?
Out of the huts of history’s shame
I rise
Up from a past that’s rooted in pain
I rise
I’m a black ocean, leaping and wide,
Welling and swelling I bear in the tide.
Leaving behind nights of terror and fear
I rise
Into a daybreak that’s wondrously clear
I rise
Bringing the gifts that my ancestors gave,
I am the dream and the hope of the slave.
I rise
I rise
I rise.
Penyair, penari, penyanyi, dan aktivis, Maya Angelou adalah seorang penulis terkenal di dunia yang terkenal dengan memoarnya yang berjudul I Know Why the Caged Bird Sings (1969) yang menjadi sejarah dalam dunia sastra sebagai buku terlaris non-fiction pertama dari seorang perempuan keturunan Afrika-Amerika.
Tema utama karyanya termasuk cinta, kehilangan dan diskriminasi gender dan ras, dan ‘Still I Rise’ tidak terkecuali.
Sebuah puisi yang menginspirasi dan mengharukan yang merayakan self-love dan self-acceptance, ‘Still I Rise‘ dengan kuat menggambarkan perjuangan yang datang dengan mengatasi prasangka dan ketidakadilan yang dihadapi wanita kulit ‘berwarna’.
3. Sadie and Maud – Gwendolyn Brooks
Maud went to college.
Sadie stayed at home.
Sadie scraped life
With a fine-tooth comb.
She didn’t leave a tangle in.
Her comb found every strand.
Sadie was one of the livingest chits
In all the land.
Sadie bore two babies
Under her maiden name.
Maud and Ma and Papa
Nearly died of shame.
When Sadie said her last so-long
Her girls struck out from home.
(Sadie had left as heritage
Her fine-tooth comb.)
Maud, who went to college,
Is a thin brown mouse.
She is living all alone
In this old house.
Gwendolyn Brooks adalah salah satu penyair Amerika abad ke-20 yang paling dihormati, berpengaruh, dan banyak dibaca. Karyanya mewakili kehidupan sehari-hari kaum kulit hitam perkotaan.
Sadie and Maud berisi tentang dua saudara perempuan. Maud, yang memenuhi harapan masyarakat dengan mengenyam pendidikan tinggi tetapi akhirnya tinggal sendirian di rumah lamanya, dan Sadie, yang meskipun melanggar semua cita-cita yang dibangun secara sosial dengan tetap tinggal di rumah dan menikah serta memiliki dua bayi, pada akhirnya, menemukan kebahagiaan sejati.
Kisah Sadie dan Maud mendemonstrasikan standar-standar yang ditetapkan bagi perempuan pada saat itu, dan menyoroti bagaimana melawan arus masyarakat yang harus diterima.
4. A Woman Speaks – Aurde Lorde
Moon marked and touched by sun
my magic is unwritten
but when the sea turns back
it will leave my shape behind.
I seek no favor
untouched by blood
unrelenting as the curse of love
permanent as my errors
or my pride
I do not mix
love with pity
nor hate with scorn
and if you would know me
look into the entrails of Uranus
where the restless oceans pound.
I do not dwell
within my birth nor my divinities
who am ageless and half-grown
and still seeking
my sisters
witches in Dahomey
wear me inside their coiled cloths
as our mother did
mourning.
I have been woman
for a long time
beware my smile
I am treacherous with old magic
and the noon’s new fury
with all your wide futures
promised
I am
woman
and not white.
Sebagai seorang yang dijuluki dengan sebutan kulit hitam, penyair, dan pejuang, karya Aurde Lorde sering berputar sekitar rasisme, seksisme, homofobia, dan klasisme.
Dalam ‘A Woman Speaks’, Lorde dengan kuat menggambarkan ketidakkonsistenan dalam bagaimana perempuan kulit hitam dipandang. Karya-karyanya telah memberi kepercayaan diri untuk menjalani hidup sesuai pilihan mereka.
5. ‘Hope’ is the Thing with Feathers – Emily Dickinson
‘Hope’ is the thing with feathers
That perches in the soul
And sings the tune without the words
And never stops – at all
And sweetest – in the Gale – is heard
And sore must be the storm
That could abash the little Bird
That kept so many warm
I’ve heard it in the chillest land
And on the strangest Sea
Yet, never, in Extremity,
It asked a crumb – of Me.
Sajak tentang resiliensi satu ini datang dari penyair Amerika yang paling berpengaruh sepanjang masa, Emily Dickinson. Salah satu puisinya yang paling terkenal, “Hope’ is the Thing with Feathers”, menggunakan metafora yang diperluas untuk menyamakan sifat harapan yang tak tertekan dengan seekor burung yang terus-menerus bertengger di dalam jiwa manusia, bahkan di tengah badai yang mengamuk.
Pada akhirnya, ini dapat menjadi pengingat bahwa, apa pun situasinya, harapan akan selalu hidup dalam diri kita, dan bahwa kita dapat mengatasi badai apa pun, bahkan dalam kondisi yang paling sulit sekalipun.
Nah Dear, sajak tentang resiliensi yang mana yang jadi favoritmu?
Sumber:
- Poem Analysis
- A Woman Speaks by Audre Lodre, Still I Rise by Maya Angelou, Mushrooms by Sylvia Path, Saddie and Maud by Gwendolyn Brooks, ‘Hope’ is the Thing with Feathers – Emily Dickinson. Retrieved from Poetry Foundation: https://www.poetryfoundation.org/