Pernahkah kamu membayangkan dirimu berada di situasi sengsara, lalu tiba-tiba menjadi takut? Kamu takut sengsara, takut ditinggalkan orang terdekat, takut jika harus hidup sendiri dalam kemiskinan, dan segala hal yang membuatmu merasa khawatir.
Tahukah kamu, Dear, rasa takut sengsara itu sebenarnya wajar. Sebagai manusia, kita pergi ke sekolah yang bagus, belajar keras, mencari pekerjaan yang bagus, dan bekerja keras agar kita dapat menikmati kualitas hidup yang baik?
Tapi, tetap saja, bagi beberapa orang, perasaan takut sengsara itu kadang terlalu besar dan mengganggu, menimbulkan rasa khawatir yang berlebihan terhadap apapun. Bagaimana cara mengatasinya?
Di artikel ini, Riliv akan berbagi kiat-kiat agar kamu tidak takut sengsara dan khawatir berlebihan lagi, Dear. Simak yaa!
Agar tidak takut sengsara, pertama-tama kenali ketakutanmu
Langkah pertama untuk menangani ketakutanmu adalah mengenali ketakutan itu sendiri. Benar, kamu takut sengsara, tapi apa sebenarnya kesengsaraan yang kamu takuti itu?
Mengenali ketakutanmu akan membantumu membedakan antara kekhawatiran yang hanya ada di bayang-bayang, yang sebenarnya tidak perlu kamu takuti, dengan ketakutan yang nyata, memang ada, dan wajar untuk ditakuti.
Ketika kamu menganalisis ketakutanmu, kamu akan memahami bahwa apapun yang membuatmu khawatir itu sebenarnya tidak sungguhan terjadi, dan sekalipun itu terjadi, sebenarnya itu tidak seburuk yang kamu khawatirkan.
Lebih jauh lagi, kamu dapat mengembangkan rencana cadangan, membayangkan skenario A, B, C, apa yang harus kamu lakukan jika situasinya tidak seperti yang kamu harapkan di awal.
Penderitaan adalah penebusan
Menurut ajaran Buddha, penderitaan itu tidak dapat dihindari, tapi penderitaan juga dapat menjadi katalis pengembangan diri dan pengembangan spiritual. Kamu bisa belajar dari ajaran ini, Dear.
Buddha mengajarkan bahwa agar dapat mencapai pencerahan, seseorang harus menghadapi dan menaklukkan penderitaan. Buddha melakukan penebusan dengan mengalihkan duka-duka dunia menjadi compassion terhadap orang lain.
Ajaran-ajaran untuk menerima, menghadapi, dan menaklukkan penderitaan ini juga dapat ditemui di berbagai agama, Dear. Dalam agama Kristen, Kristus menderita untuk menebus umat manusia. Dalam agama Islam, selalu ditekankan untuk bersabar dan diperintahkan untuk berpuasa.
Dalam psikologi positif, para ahli telah mengakui peran penderitaan dalam proses pengembangan kekuatan karakter positif. Psikologi positif mengakui efek-efek positif dari penderitaan melalui prinsip-prinsip pertumbuhan pascatrauma, adaptasi positif, stress-related growth, dan adversarial growth.
Riset menunjukkan bahwa penderitaan telah berkontribusi banyak pada perkembangan karakter tokoh-tokoh dunia seperti Malala Yousafzai, Mahatma Gandhi, J.K. Rowling, dan lain-lain.
Sukses terasa lebih manis apabila kamu telah melewati kesengsaraan
Tanpa penderitaan, bagaimana kita bisa merasakan kesenangan dan kebahagiaan? Semua pengalaman kita selalu relatif terhadap apa yang kita alami sebelumnya.
Dua orang dengan gaji 8 juta per bulan bisa merasa benar-benar berbeda tentang situasi mereka. Sebelum mendapat gaji 8 juta per bulan, si A adalah pengangguran yang kesulitan mencari kerja. Sementara bagi si B, dari dulu dia bekerja dan selalu mendapat gaji pada kisaran itu.
Coba pikirkan, mana yang lebih merasa bahagia mendapat gaji 8 juta per bulan? A atau B?
Jika seseorang tidak pernah merasakan penderitaan, mudah bagi seseorang untuk take everything for granted. Padahal, apapun yang kita miliki saat ini bisa hilang seketika jika tidak kita jaga, kita perjuangkan, dan tidak kita hargai.
Jika kamu pernah merasakan penderitaan, misalnya posisi yang lebih sulit daripada posisimu sekarang, pasti kamu lebih menghargai posisimu yang sekarang ini. Ketika kamu merasakan penderitaan, kamu mendapat perspektif baru.
Ketidaknyamanan itu berharga
Kita hidup pada masa di mana segalanya mudah. Kalau kamu ingin makan telur dadar, kamu tidak perlu merawat ayam, menunggunya bertelur, lalu menggoreng telurnya. Kamu tinggal membeli telur lalu memasaknya.
Begitu pula dengan pakaian, transportasi, komunikasi, dan aspek-aspek penting kehidupan lain. Era modern telah mempermudah segalanya. Itu adalah salah satu sebab kenapa orang menjadi takut sengsara.
Kepraktisan, kemudahan, dan kenyamanan dalam berbagai aspek kehidupan memang penting. Tapi, Dear, pernahkah kamu berpikir tentang pengalaman-pengalaman, hambatan, kesulitan yang menempa dan mengembangkan diri kita jadi menghilang?
Tiba-tiba segalanya terasa begitu mudah. Dulu, jika manusia tidak berburu, manusia tidak makan. Sekarang, berburu menjadi sebuah hobi. Berburu bukan lagi kebutuhan, berburu menjadi sesuatu yang eksotis. Kita menganggap orang yang bisa berburu itu hebat dan unik.
Ketidaknyamanan, penderitaan, dan kesulitan yang dulunya adalah hal sehari-hari, sekarang berubah menjadi hobi. Dan orang suka melakukan hobi itu, mereka mencari ketidaknyamanan karena di tengah segala kenyamanan ini, ketidaknyamanan menjadi berharga.
Menghadapi takut sengsara dengan berkunjung ke pemakaman
Mungkin kamu bertanya-tanya, dari sekian banyak tempat di dunia ini, kenapa harus ke pemakaman?
Dear, jika kamu masih bisa membaca kalimat ini, artinya kamu masih punya kesempatan untuk meng-improve kehidupanmu. Hari ini, lebih dari 150.000 orang mengembuskan nafas terakhirnya.
Selama kamu masih bisa bernapas, jantungmu masih berdetak, sebenarnya kamu memiliki kesempatan dan sumber daya untuk melewati segala kesulitan, kesengsaraan, derita dan ujian hidup.
Dear, jika masalah dan derita hidup terasa terlalu berat, kamu bisa curhat ke psikolog, loh. Yang pasti, apapun kesulitan hidup, tetap semangat ya!
Disadur dari:
- https://www.nytimes.com/2018/2/16/opinion/sunday/tyranny-convenience.html
- https://www.psychologytoday.com/us/blog/why-we-need-heroes/201504/want-be-hero-embrace-suffering-and-sacrifice
- https://addicted2success.co/motivation/5-ways-to-embrace-your-struggles-and-conquer-your-fears/
- https://thriveglobal.com/stories/5-ways-to nb -end-your-suffering-quickly/
Ditulis oleh Fida Aifiya.