Kasih – Memang tidak mudah bagi kita untuk menyayangi diri kita sendiri, namun pengalaman teman kita yang satu ini mungkin bisa membuka mata kita. Yuk, simak bersama-sama!
“In this life we cannot do great things. We can only do small things with great love.”
– Mother Teresa
A : “Okedeh, semangat untuk UTSnya. Gbu.”
B : “Lu sering nyemangatin orang. Tapi lu sering ga sih disemangatin orang? Wkwk.”
A : *cukup lama berpikir untuk menjawab*
Hari itu hanyalah hari yang biasa bagi seorang mahasiswa pada umumnya. Entah ada kuliah atau tidak tetapi tetap pergi ke kampus untuk memenuhi tugas kuliah. Mata kuliah yang sedang kami kerjakan memang cukup sulit. Laporan berlembar-lembar dengan waktu pengerjaan yang cukup singkat.
Kepala terasa pening. Tidak bisa memikirkan hal lain selain apa yang dikerjakan saat itu juga. Tiba-tiba handphone saya berdering. Panggilan dari salah seorang teman yang domisilinya cukup jauh. Saya pun mengangkat panggilan tersebut. Namun sayang sinyal tidak sebagus itu. Saya harus berkeliling mencari sinyal agar kami bisa mudah ngobrol tanpa ada unstable connection yang menghalangi.
Sinyal sudah siap dan orang di seberang sana berkata “Aku gatau harus gimana lagi. Aku mau bunuh diri” dengan nada yang lirih dan suara tangisan yang mengikuti.
Dua kisah berbeda “bertemu” pada makna yang sama
Cerita pertama adalah kondisi ketika saya baik-baik saja menikmati keseruan chatting antara saya dan teman saya. Namun di akhir chat membuat saya berpikir “Hmm sedih juga ternyata. Semangatin orang tapi gaada yang nyemangatin.”
Beberapa bulan yang lalu, saya diberi kesempatan untuk menjadi koor di sebuah kepanitiaan di kampus. Hal itu tidak lepas dari adanya rintangan. Rintangan yang paling sering muncul adalah turunnya semangat saya. Ketika semangat saya turun, saya tidak akan mood untuk mendengar pergumulan panitia lainnya. Padahal tugas saya adalah memperhatikan mereka dan membuat mereka nyaman berada di kepanitiaan tersebut.
Suatu hari, saya membuat kartu penyemangat yang akan saya bagikan kepada mereka setiap kali mereka mulai lelah. Kartu itu hanya seukuran kartu nama pada umumnya yang dicetak di kertas ivory berukuran A3 yang nantinya akan dipotong-potong dengan total biaya Rp5.500,00 sekali cetak. Bukan nominal yang besar.
“Paling ujung-ujungnya nanti dibaca dan dibuang. Atau mungkin akan tetap di kantong celana dan basah ketika dicuci.”
Di akhir kepanitiaan, ada salah seorang rekan menghampiri saya dan berkata “Semua kartu itu aku simpan di meja belajar dan aku kumpulin. Gaada satupun yang aku kasih ke orang lain. Terimakasih ya untuk kartunya. Aku senang dengan semua kartu itu.” Saya hanya membalas dengan sebuah senyuman.
“Mengapa kamu cerita di saat aku sedang tidak baik-baik saja?”
Cerita kedua adalah kondisi ketika saya sedang pusing karena tugas yang cukup menguras otak dan tenaga tetapi ada telefon yang masuk. Cerita kedua membuat saya semakin capek dan lelah, “Aku sedang tidak ingin memberikan saran. Aku sedang tidak ingin mendengarkan orang lain bercerita tentang masalahnya. Hal itu membuatku semakin capek dan lelah.” pikirku dalam hati.
Mendengar kata-kata pertamanya sudah membuatku sedih. Berada di lingkungan yang jauh dari orang-orang yang dikasihinya dan menuntut ilmu yang sebenarnya bukan menjadi pilihannya. Setiap pagi, ia merasa dadanya sesak dan sulit terbangun karena ia tidak ingin menghadapi kenyataan ini. Tidak hanya sekali dua kali kata-kata “ingin bunuh diri” itu keluar dari mulutnya. Inginku berada di sampingnya dan memeluknya dengan erat.
Seringkali ia menyalahkan Tuhan karena tidak adil dan bertanya apakah Tuhan benar-benar mengasihinya. Setelah ia bercerita, bertanyalah ia kepada saya “adakah saran untukku?” Saya terdiam. Saya hanya bisa mendengarkan apa yang ingin dia katakan. Saya hanya bisa menyempatkan waktu untuk dia bercerita. “Apakah hanya ini yang bisa saya lakukan?” pikirku dalam hati.
Seringkali kita mengalami krisis diri, merasa tidak berdaya dan bukan apa-apa
Hal itu membuat kita bertanya “mengapa hidupku seperti ini?” “mengapa semua ini terjadi kepadaku?” “mengapa orang lain hidupnya baik-baik saja?”
Kondisi emosi pada dua cerita di atas berbeda. Namun respon saya terhadap 2 pengalaman itu sama. Banyak hal yang bisa membuat kita sedih sekaligus bersyukur. Kita tidak bisa berekspektasi apakah hidup ini akan berjalan seperti yang kita inginkan tetapi kita bisa melewatinya dengan kasih. Kita bisa menerima keadaan dengan kasih dan hati yang besar agar selalu ada ruang untuk menerima hal-hal yang terjadi di luar kontrol kita. Kita bisa mendukung orang yang sedang berada di titik terendahnya dengan kasih. Kita bisa mencintai diri sendiri dengan kasih. Kita dapat melakukan hal kecil dengan kasih yang besar.
B : “Apa yang membuat kamu bahagia?”
A : “Melihat orang lain bahagia dengan apa yang saya lakukan. Dengan kasih yang
saya beri maka Tuhan yang akan melipatgandakan. ”
B : “Semoga Tuhan membalas segala kebaikanmu.”
Mari mengasihi, dimulai dari mengasihi diri sendiri karena sejatinya setiap manusia itu
berharga.
Ditulis oleh Thalia. Diedit oleh Neraca Cinta Dzilhaq, M.Psi., Psikolog.
Kesimpulan dari kisah di atas adalah, mari kita sama-sama belajar menyayangi diri sendiri. Karena bagaimanapun juga, semua orang pantas mendapatkan kasih sayang. Jika orang lain tak bisa menjadi support-mu, belajarlah untuk men-support dirimu sendiri. Maka dari itu, untuk kamu yang sedang berjuang saat ini, ingatlah bahwa kamu berharga bagi orang lain, lho! Jangan pernah menyerah karena di luar sana, masih banyak orang-orang yang mendukungmu. Riliv juga siap mendukung kamu dengan layanan psikologi yang bisa kamu akses dengan aplikasi Riliv. Yuk, mulai konseling psikologi dengan mudah pakai aplikasi Riliv!
Riliv membuka kesempatan bagi pembaca untuk berbagi cerita seputar pengalaman kesehatan mental. Kirimkan tulisanmu dalam file Word ke story@riliv.co dengan subjek “#YOURSTORY – Judul – Nama.” Silakan menggunakan nama samaran bila berkenan.
Discussion about this post