Ekspektasi – Pernahkah kamu merasa lelah dengan ekspektasi dari orang sekitarmu? Simak cerita Putri, kontributor Riliv #YourStory berikut ini!
Capek rasanya ketika hidup selalu dipenuhi oleh ekspektasi-ekspektasi yang nggak pernah ada habisnya, apalagi ketika kita semakin berada pada posisi yang tinggi. Ya, mungkin ada benarnya juga karena dalam hidup kita punya status dan peranan masing-masing. Tapi tetap saja, mana ada yang peduli kala hati tidak bisa berdamai dengan ekspetasi. Inilah aku, yang mencoba berdialog dengan ekspektasi.
Selalu dianggap masih anak-anak
Oh iya, namaku Putri. Sebut saja begitu. Kini, usiaku 22 tahun, sudah lulus dari salah satu perguruan tinggi ternama, dan melanjutkan studi ke jenjang berikutnya. Tapi, aku nggak pernah mengalami yang namanya, puberty goals, alias masih terlihat seperti anak-anak.
Pada umurku sekarang, aku tidak mampu memenuhi ekspektasi orang terdekatku, karena mereka masih menganggapku anak-anak, atau belum dewasa. Padahal, aku tahu ada beberapa hal dari sifat kekanak-kanakan, yang nggak boleh hilang, seperti merasa bahagia.
Tapi, karena adanya ekspektasi, rasa cemas itu pun datang menghampiriku. Karena, aku tidak pernah bisa menjadi seorang yang dewasa.
Mulai merasa kehilangan arah
Selepas wisuda, rasa cemas itu terus-menerus datang. Karena di kepalaku, banyak ekspektasi orang lain yang harus bisa aku penuhi, misalnya harus sudah sukses, punya penghasilan tetap, punya pasangan hidup, emosinya tidak labil, dan banyak kesan dewasa yang harus bisa aku lakukan.
Dampaknya, aku merasa kehilangan arah, nggak merasa bahagia dengan apa yang aku punya, dan juga merasa nggak sanggup menghadapi masa depan. Aku pun takut dengan apa yang terjadi di masa depan, yang penuh ketidakpastian.
Padahal, saat itu, aku sudah masuk ke dunia kerja, dan sudah diterima pada salah satu universitas untuk melanjutkan studi S2. Tapi, apa yang sudah aku lakukan rasanya tidak pernah cukup memenuhi ekspektasi orang-orang terdekatku. Lelah rasanya, karena aku terus menerus seperti dituntut oleh realita, yang aku sendiri tak kuat menahannya. Sampai suatu ketika, aku menyerah, dan memendam semuanya…. sendirian.
Mulai lelah dan mencari cara
Aku merasa kecemasan itu nggak bisa diatasi hanya dengan ngobrol-ngobrol dengan orang terdekatku. Lingkungannya sih, menurutku cukup suportif. Tapi, aku seperti terus-menerus dituntut untuk tidak boleh merasakan cemas, sampai aku merasa bingung harus kemana lagi aku bercerita.
Ya, karena ekspetasinya, “ya elah, masih bocah aja, udah ngerasa galau-galau.” Aku sampai berpikir, kan aku sudah cukup dewasa secara usia, walaupun secara fisik tidak demikian. Aku lelah dengan ini semua. Sampai akhirnya, aku mencari jawabannya sendiri, dengan browsing sendiri. Tapi, aku merasa pencarianku tidak ada ujungnya.
Tidak apa-apa bila kamu merasa tidak baik-baik saja, karena kamu adalah manusia.
Aku mulai memberanikan diri, sendirian, untuk berkonsultasi ke profesional. Disitu, aku merasa mulai menemukan titik temunya. Intinya, aku terlalu banyak mengikuti ekspektasi dan tidak pernah berdamai dengannya.
Mindfulness, adalah cara yang disarankan oleh profesional itu padaku. Aku menyadari kalau ekspektasi orang itu, apalagi jika terlalu tinggi, tidak bisa aku kendalikan. Aku hanya bisa mengendalikan pikiranku saja, dan mulai bersikap untuk bodo amat.
Berat rasanya, mencoba keluar dari situasi tersebut sendirian. Aku mencoba mulai mensyukuri apa yang sudah aku lakukan dan apa yang aku punya, tanpa membandingkan dengan ekspektasi orang lain. Perlahan tapi pasti, rasa cemasku mulai bisa dikendalikan. Kemudian, aku mulai merasa, it’s okay you have bad feelings, ’cause you’re human.
Berdialog dengan ekspektasi
Aku mulai menerima situasi yang aku hadapi sekarang. Aku mulai mencoba buat berdialog dengan ekspetasi itu. Aku merasa, apa yang mau dikatakan kepada orang lain kepadaku, nggak sepenuhnya benar.
Tapi, dari situ, aku mulai mempelajari diriku sendiri. Kemudian, dari situ, aku mulai memahami ekspektasi itu bukan cuma jadi beban, tapi bisa juga mendorong aku untuk melakukan perubahan. Intinya, don’t let yourself down by only hearing people’s expectation on you! Cheer you up! Only you and God, knowing inside yourself, not others.
Ditulis oleh Putri, diedit oleh Neraca Cinta Dzilhaq, M.Psi., Psikolog.
Secara psikologis, terlalu membebankan diri pada ekspektasi hanya akan membuat kamu merasa kecewa, karena kamu merasa bahwa realitas akan berjalan sesuai dengan kehendak kamu. Di sisi lain, menaruh ekspektasi terlalu tinggi terhadap orang lain juga bisa berdampak negatif, karena bisa jadi orang-orang akan berusaha keras memenuhinya supaya kita bahagia. Padahal, nggak selamanya hidup itu harus ditentukan oleh manusia. Ada hal-hal di luar kendali kita yang tidak bisa kita jelaskan mengapa harus terjadi demikian.
Jika kamu mengalami permasalahan yang sama dengan Putri dan membutuhkan tempat untuk bercerita, kamu tidak sendirian! Menjalani kesulitan dalam hidup bisa melelahkan, namun selalu ada jalan untuk keluar dari masalahmu. Psikolog dan konselor profesional siap menolong kamu dan memberi solusi terbaik.
Yuk, coba aplikasi Riliv untuk konseling online dengan profesional!
Riliv membuka kesempatan bagi pembaca untuk berbagi cerita seputar pengalaman kesehatan mental. Kirimkan tulisanmu dalam file Word ke story@riliv.co dengan subjek “#YOURSTORY – Judul – Nama.” Silakan menggunakan nama samaran bila berkenan.