Ditulis oleh Isti Zharfiesyah Putri, diedit oleh Neraca Cinta Dzilhaq M.Psi., Psikolog
Cinta dan Obsesi – Segala topik tentang percintaan memang tidak ada habisnya untuk dibahas. Jika sebelumnya Riliv pernah membahas tentang obsessive love disorder, sudah waktunya kita lebih mendalami cinta dan obsesi dalam psikologi. Usut punya usut, ada hubungannya dengan gangguan jiwa juga, lho! Yuk, simak uraiannya di artikel ini!
Baca Juga: Cinta Sampai Mati, Bahaya Obsessive Love Disorder
Mengapa Obsesi Terjadi?
Pernahkah kamu mendengar tentang obsessive compulsive disorder atau OCD? Orang yang mengalami OCD memiliki obsesi tertentu yang mendasari berbagai hal, seperti seringkali membersihkan tangan, mengecek sesuatu, dan lain sebagainya. Sebenarnya, apa sih yang mendasari terjadinya OCD?
Secara umum, obsesi adalah pikiran, citra, atau dorongan yang tidak diinginkan dan tidak menyenangkan yang berulang kali memasuki pikiran seseorang. Ada kalanya, pikiran obsesif ini menyebabkan perasaan cemas, jijik, atau tidak nyaman. Penyebab munculnya pikiran obsesif ini bermacam-macam. Bisa jadi karena gangguan kecemasan atau karena trauma di masa lalu.
Oleh sebab itu, menurut DSM-5, pikiran obsesif juga disertai dengan rasa khawatir berlebih yang tidak masuk akal. Dalam kasus OCD, orang-orang dengan pikiran obsesif tersebut akan melakukan perilaku kompulsif. Dengan kata lain, mereka mengartikan pikiran tadi sebagai pertanda bahwa ada sesuatu yang kurang beres dan harus diperiksa atau diperbaiki. Misalnya, ada seseorang yang memiliki pengalaman buruk tentang kecelakaan selama menyetir. Gara-gara kejadian itu, di pikirannya selalu ada bayangan tentang kecelakaan, sehingga ia akan mengecek roda dan kaca spionnya berulang kali. Padahal, kalau dia tidak melakukan itu, semuanya akan baik-baik saja.
Obsesi vs Cinta yang Murni
American Psychological Association mendefinisikan cinta sebagai emosi kompleks yang melibatkan perasaan kasih sayang dan kelembutan yang kuat untuk objek cinta, sensasi menyenangkan di hadapannya, pengabdian pada kesejahteraannya, dan kepekaan terhadap reaksinya terhadap diri sendiri.
Maka dari itu, definisi cinta dalam psikologi adalah hal yang kompleks, karena cinta dalam konteks kesehatan mental bukan hanya meliputi interaksi sosial dengan orang lain. Cinta dalam psikologi juga bisa mengacu kepada diri sendiri atau self-love. Mencintai diri sendiri berarti menjunjung tinggi kesejahteraan dan kebahagiaan diri sendiri.
Kemudian, psikolog Elaine Hatfield mendefisinikan dua macam cinta, yaitu compassionate love dan passionate love. Perbedaannya sebagai berikut:
- Compassionate love (cinta welas asih) ditandai dengan saling menghormati, keterikatan, kasih sayang, dan kepercayaan. Cinta ini biasanya berkembang dari perasaan saling pengertian dan saling menghormati satu sama lain.
- Passionate love (cinta bergairah) ditandai dengan emosi yang kuat, ketertarikan seksual, kecemasan, dan kasih sayang. Ketika emosi yang kuat ini dibalas, orang merasa gembira dan puas, sementara cinta yang tidak berbalas mengarah pada perasaan putus asa dan putus asa.
Baca juga: Cara Belajar Self Love Supaya Kamu Love Yourself
Menurut teori segitiga cinta Sternberg, cinta terdiri dari tiga unsur, yaitu intimasi, gairah, dan komitmen. Tanpa adanya ketiga unsur tersebut, cinta hanyalah perasaan yang kosong. Jadi, jika kamu memiliki gairah dan intimasi, tapi nggak punya keinginan buat berkomitmen, artinya kamu belum benar-benar mencintai seseorang. Begitu pula jika hanya ada komitmen, namun tidak punya intimasi atau gairah. Alhasil, perasaan itu nggak akan ke mana-mana.
Nah, dari berbagai definisi cinta di atas, kamu tentunya bisa menangkap kesimpulannya, bukan?
Mencintai seseorang itu artinya kita memberikan kesetiaan kita kepadanya, namun tidak melupakan well-being orang tersebut. Jika kamu benar-benar mencintai seseorang, maka kamu akan menginginkan sesuatu yang terbaik baginya. Kamu tidak mau dia merasa tersakiti. Maka dari itu, jika memang kamu harus meninggalkannya demi kebaikannya, kamu pun akan melakukannya. Bagaimanapun juga, cinta adalah sesuatu yang mengikat dua insan, namun bukanlah sesuatu yang mengekang mereka.
Lalu, bagaimana dengan obsesi pada hubungan percintaan?
Dari definisi obsesi di atas, jelas bahwa obsesi bukanlah cinta. Obsesi adalah pemaksaan yang muncul karena rasa takut, bukan karena kepedulian atas well-being seseorang.
Jika pikiran obsesif pada seseorang dengan OCD dilatarbelakangi trauma atau kejadian yang kurang berkenan, begitu pula orang-orang dengan obsesi terhadap pasangannya. Misalnya, sewaktu berhubungan romantis, mereka pernah mendapatkan pasangan yang abusif, pernah diselingkuhi sehingga punya trust issues, atau punya masalah dengan attachment semasa kecilnya. Maka dari itu, orang-orang yang terobsesi dengan cinta biasanya juga akan cemburu berlebihan, posesif dengan pasangannya, suka mengekang, bahkan tak segan-segan melakukan kekerasan agar pasangannya tetap bersama dirinya.
Baca juga: Emotional Baggage, Beban yang Bikin Hubungan Runyam
Sudah Tahu Bedanya Obsesi dan Cinta, Bagaimana Mengatasinya?
Jawabannya, tentu saja dengan menghubungi profesional terdekat di kota atau tempat tinggalmu.
Orang yang menderita obsesi dapat digambarkan sebagai gunung es. Dalam kasus OCD, bagian atas yang terlihat adalah yang selama ini diketahui, seperti berulang kali mencuci tangan, sering mengecek atau membersihkan sesuatu.
Namun dibawahnya, bagian yang tidak terlihat, ada arti obsesi yang sesungguhnya, seperti takut terkontaminasi, takut menyakiti orang lain, atau takut sesuatu yang buruk akan terjadi.
Apabila kamu atau orang terdekatmu punya catatan tentang OCD atau punya pikiran obsesif terkait percintaan, berbagai terapi psikologi seperti mindfulness-based cognitive therapy bisa menjadi jalan keluarnya. Terapi ini berfokus kepada mengajak individu mengamati jalan pikirannya, sehingga dapat membantu individu mengontrol pikiran dan perilakunya. Mindfulness bisa dilakukan dengan praktik journaling, berolahraga, atau melakukan meditasi.
Jika kamu ingin belajar mindfulness lebih lanjut, Riliv punya solusinya! Rangkaian meditasi Riliv sangat ramah dengan pemula, lho! Selain itu, kamu juga bisa mengakses konseling dengan profesional di bidang kesehatan mental hanya dalam satu aplikasi. Kalau kamu masih ragu untuk cerita pada yang lain, coba ceritakan saja pada psikolog yang pasti akan sangat mengerti keadaanmu. Cukup satu sentuhan, hidup bebas dari masalah pribadi ada di tanganmu.
Yuk, bareng-bareng pantau kesehatan mentalmu dengan Riliv!
Referensi:
- Cherry, K. (2022). 5 Psychological Theories of Love. Retrieved from Verywellmind: https://www.bbrfoundation.org/blog/self-love-and-what-it-means
- NHS. (n.d). Overview – Obsessive compulsive disorder (OCD). Retrieved from NHS.uk: https://www.nhs.uk/mental-health/conditions/obsessive-compulsive-disorder-ocd/overview/
- O’SUllivan, L. F. (2021). What Love Is. Retrieved from PsychologyToday: https://www.psychologytoday.com/us/blog/first-blush/202104/what-love-is
- Ohwovoriole, T. (2021). What Is Obsessive Love Disorder?. Retrieved from Verywellmind: https://www.verywellmind.com/obsessive-love-disorder-definition-symptoms-causes-5203954
- Psych Central. (n.d). Are Obsessive Thoughts a Symptom of a Mental Health Condition?. Retrieved from Psychcentral: https://psychcentral.com/blog/how-to-stop-obsessive-thoughts
- Sissons, B., Villines, Z., & Litner, J. (ed.). (2023). Obsessive love: What to know. Retrieved from Medical News Today: https://www.medicalnewstoday.com/articles/327098