Niat hati ingin menenangkan hati, eh ternyata malah nyakitin. Niat hati ingin memperbaiki keadaan, eh ternyata malah memperparah. Mungkin, kamu merasa kesulitan ketika hendak menenangkan orang terdekatmu yang sedang berjuang dengan mental illness.
Tidak selamanya kalimat yang kamu ucapkan dapat meringankan beban yang mereka rasakan. Kesalahan kecil yang tidak kamu sadari bisa menjadi penyebab hal-hal yang lebih fatal.
Apakah kamu pernah mengalaminya? Jika iya, yuk simak artikel Riliv berikut ini tentang 5 hal yang seharusnya tidak kamu ucapkan pada orang dengan mental illness!
1. “Ah masalah sepele gitu aja kok sampai berlarut-larut kayak gitu, santai aja lah!”
Kalimat tersebut mungkin saja terucap tanpa ada niatan untuk menyakiti hati. Niatmu mungkin hanya ingin mereka lebih santai dalam menghadapi masalah yang mereka alami. Akan tetapi, ungkapan tersebut dapat menambah beban mereka.
Berusahalah untuk tidak mengucapkan hal itu dan sadari bahwa manusia memiliki anugerah dan kerentanan yang berbeda-beda. Menurut para psikolog, setiap individu memiliki stresor dan predisposisi terhadap masalah psikologis yang berbeda-beda.
Para psikolog menjelaskan fenomena tersebut sebagai diathesis stress model, dimana kejadian menyakitkan yang serupa dan dialami oleh dua orang yang berbeda belum tentu menghasilkan respon yang sama.
2. “Kamu seharusnya bersyukur. Masih banyak yang jauh lebih susah daripada kamu”
Photo by Tirachard Kumtanom from Pexels
Masih banyak sekali stigma yang melekat pada inidividu dengan depresi atau anxiety bahwa mereka adalah orang yang kurang bersyukur. Mensyukuri keadaan memang hal yang baik. Namun, kebersyukuran tidak cukup kuat untuk menyembuhkan depresi.
Sebuah riset membuktikan bahwa menyuruh orang dengan depresi untuk bersyukur sama sekali tidak mengatasi depresi. Oleh karena itu, yuk berhenti menyuruh mereka untuk bersyukur dan cobalah untuk lebih memahami mereka!
3. “Coba deh perbanyak ibadah, pasti kamu bisa sembuh”
Stigma lainnya yang melekat pada orang yang mengalami masalah kesehatan mental adalah bahwa mereka kurang ibadah. Faktanya, depresi bisa menyerang siapa saja tidak peduli seberapa sering kamu beribadah.
Ibadah mungkin menguatkan kita di kala masalah melanda. Namun, belum tentu bagi orang lain. Mungkin saja mereka sudah menghabiskan malamnya untuk berdoa dan memohon pada Tuhan untuk meringankan rasa sakit yang mereka rasakan. Hanya mengingatkan mereka untuk beribadah bukanlah solusi yang tepat.
4. “Ngapain sih ke psikolog, ke psikiater, minum obat terus terapi? Ngabis-ngabisin uang aja mending cerita sama aku sini”
Photo by The Coach Space from Pexels
Jika masalah kesehatan mental bisa sembuh hanya dengan bercerita, mungkin tidak akan ada profesi psikolog maupun psikiater di dunia ini. Faktanya, memang beberapa orang yang mengalami masalah kesehatan mental membutuhkan obat dan terapi agar ia bisa menjalani aktivitas sehari-hari dengan baik.
Para ahli meyakini bahwa salah satu penyebab depresi adalah ketidakseimbangan neurotransmiter (serotonin) di otak manusia.
Obat antidepressant seperti Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) membantu individu dengan depresi dalam meningkatkan kadar serotonin di otak yang memiliki pengaruh yang baik dalam mengatur suasana hati dan emosi.
Di sisi lain, terapi terbukti memiliki efek yang bertahahan lama untuk mencegah munculnya kembali beberapa gejala depresi atau kecemasan setelah pengobatan berakhir.
Jadi, mereka menemui psikolog bukan karena ingin menghabis-habiskan uang ya! Tapi memang karena mereka membutuhkannya.
5. “Kamu kok caper banget sih! Update status bilang-bilang pengen mati, nggak enak tau diliat!”
Photo by mikoto.raw from Pexels
Mereka bukan caper, tetapi mereka sedang memberi sinyal bahwa mereka membutuhkan bantuan. Oleh karena itu, apabila kamu menemui status yang menandakan bahwa seseorang sedang tidak baik-baik saja, alih-alih mencibir, hubungi mereka untuk menawarkan bantuan.
Mari bantu meringankan beban mereka yang mengalami masalah kesehatan mental dengan berempati dan berhati-hati dalam berbicara. Pepatah mengatakan bahwa setajam-tajamnya pisau masih lebih tajam lidah, artinya adalah kata-kata yang diucapkan dapat menimbulkan rasa sakit hati yang dalam dibandingkan benda tajam sekalipun.
Kita tidak pernah tau bahwa kalimat yang kita lontarkan bisa berdampak buruk bagi orang lain, terutama mereka yang sedang berjuang dengan mental illness. Yuk perbanyak bicara yang baik-baik, seperti “Hai. Kamu keliatan sedang nggak baik-baik aja. Aku di sini kok kalau kamu butuh bantuan. You can tell me everything, i am all ears”. Don’t forget to empathize and spread love!
Referensi:
- Kearney, C. A., & Trull, T. J. (2012). Abnormal psychology and life. Belmont: Wadsworth.
- Seligman, M. E. P., Steen, T. A., Park, N., & Peterson, C. (2005). Positive Psychology Progress: Empirical Validation of Interventions. American Psychologist, 60(5), 410–421. doi:10.1037/0003-066x.60.5.410
- https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK361016/
- https://www.apa.org/topics/overcoming-depression